Kamis, 25 Juni 2009

Akhoufullah

Cit. . . . .ttt, kugenggam rem motor maticku. Segera aku turun dan kuturunkan standar samping si black blue, motor matic model terbaru yang baru seminggu kumiliki. Kemudian aku berjalan ke luar parkiran menuju ke kelas. Tak kuduga sebelumnya, pagi ini aku berpapasan dengan Fahreza di dekat parkiran. Dia melemparkan senyum sambil menundukkan kepalanya dan terus berlalu dengan sepedanya yang mulai karatan. Hati ini seketika tersentak untuk membalas senyumnya tapi bibir justru tak mau berkembang sedikitpun.

“ BODOHnya aku.” Kataku dalam hati.

“ Aduh. . ., kok aku jadi salting ya?” kataku tak sadar.

“ Salting kenapa Vis, cie. . . Jatuh cinta ni?” sambar Cacha sambil merangkul pundakku.

“ Nggak, kamu ngagetin aja.” Jawabku sewot.

Aku dan Cacha melanjutkan obrolan sambil berjalan ke kelas. Sampai di kelas ternyata masih sepi, aku segera meletakkan tasku. Tiba-tiaba aku terbayang senyum Fahreza tadi. Aku nggak nyangka Fahreza mau juga tersenyum sama cewek meski sambil nunduk. Ini cukup mengherankan karena Fahreza salah seorang anggota Rohis di sekolahku. Dia cukup taat beribadah, selain itu dia juga cukup menutup diri dari lawan jenis yang bukan mahramnya. Namanya cukup dikenal oleh guru-guru karena dia pandai sekali bertilawah.

Tak terasa kelas sudah mulai ramai, Nindya terlihat tersenyum di depan pintu. Dia segera berjalan memasuki kelas, dan meletakkan tasnya di sampingku.

“ Gimana Nin, ada perkembangan ?” tanyaku penasaran.

“ Hah kamu, pagi-pagi udah curiga aja bawaannya. Fahreza tu sukanya sama kamu. Aku yakin ini semua strategi dia.” Jelas Nindya panjang lebar.

Aku mulai kesal dengan keadaan ini, “ Aku yakin, tadi malem pasti kalian berdua SMS-an. Nin, aku yakin banget, Fahreza itu sukanya sama kamu.”

Tanpa basa-basi Nindya menjawab, “ Fahreza tu cowok agamis. Kalau suka sama cewek pastinya yang taat juga donk. Na gue, seksi girl gini. Beda sama kamu Vis, berjilbab, pinter, baik, pendiam, ramah, rajin beribadah, duitnye banyak lagi, he…he…he…”

“ Tapi Fahreza nggak pernah SMS aku duluan, Nin. Beda sama kamu.” jawabku mencoba mengelak.

Belum selesai aku dan Nindya berdebat, bel sudah berbunyi. Fahreza terlihat berlari memasuki kelas. Itu kebiasaan dia, karena dia selalu shalat Dhuha dan membaca Al-Qur’an di mushola sekolah.

* * *

Waktu pulang sekolah . . .

“ Eh Nin, mana hape kamu ?” pintaku ketus.

“ Kamu sensi banget si? Nih, mau kamu apain, terserah.” Jawab Nindya sambil menyodorkan hapenya.

Langsung kubuka inbox dan sent itemnya secara bergantian.

FAHREZA : Hi Nin. Gy ngapain ni? Aq kangen ni, kalau nggak SMS qm seakan-akan ada yang hampa di jiwa ini ( halah, apa itu?). Tapi beneran lho Nin, qm ngangenin banget.

NINDYA : Hi jg. Aq ga kangen tu ma qm. Qm salah nomer kalie. . . Ni Nindya lho, bukan Navista.

FAHREZA : Iy sayang, emang qm kok. Navista siapa ya?

NINDYA : Ah pura-pura. Navista yang cantik n baik itu.Qm suka kan?

FAHREZA : Jangan cemburu buta gitu, itu Cuma gossip kok. Maklum, hidup tanpa gossip bagai sayur asam tanpa asam, jadinya sop dech.

NINDYA : Aq ngantuk Rez, mw tidur. Met malem. . . SMS Navista aja y!

FAHREZA : Y udah, kalau qm capek bobok dlan gpp. Ntar qt ketemu di mimpi. Met malem jg, met bobok, I Luv U Bibeh…muach

Aku kaget banget dan nggak nyangka kalau Fahreza berbuat seperti ini. Inikah yang disebut-sebut Nindya strategi ?

“ Vis, kamu jangan salah sangka dulu. Fahreza cuma bercanda kok.” Jelas Nindya.

“ Salah sangka kenapa Nin? Aku nggak ada perasaan ke Fahreza kok. Jadi, kamu nggak usah ngerasa nggak enak gitu. Ini udah jadi bukti kalau Fahreza suka sama kamu. Kamu jangan bawa-bawa aku terus Nin!” jawabku panjang lebar.

“ Ini cuma strategi Fahreza, dia deketin aku untuk tahu kamu lebih banyak. Mulai besok aku izin 3 hari untuk ke luar kota karena kakakku nikah.” kata Nindya.

“ Oke Nin, tapi aku tetap mau selidiki. Kalaupun kamu malu jadi pacarnya Fahreza, aku tetap bersedia kok mengcover hubungan kalian, he. . .” jawabku menggoda.

* * *

Aku penasaran banget gimana perasaan Fahreza yang sebenarnya. Udah lama di sekolahku menyebar gossip antara aku dan Fahreza. Ada yang bilang Fahreza suka ma aku, ada juga yang bilang aku yang suka ma Fahreza, ada pula yang bilang pacaran. Saking penasarannya,kusambar langsung hapeku.

‘ Malem Rez. . . Udah ngerjain PR matik lom? Boleh nanya ga?’

“Send… Fahreza”. Basa-basi dulu deh nggak papa, pelan-pelan yang penting berhasil. Deg-degan juga nungguin jawabannya. Lima menit kemudian ada balasan.

‘ Malem jg Vis. Blm ni, mls bgt, susah. Qm pasti udah, bsk nyontek y? Blh, nanya apa? Tumben ni SMS aq.’

Yess. . . kayaknya dia nggak curiga. Lanjutin ah . . .

‘ Gampang, asal qm ksh solusi k aq,qm blh nyontek sepuasnya. Aq pny temen ( cowok lho), dy gy jth cinta. Tp si cewk twnya tmnq sukanya ma sahabatnya. Trs gmn coba?’

Hmm, boleh juga ni. Pasti dia bakal ngaku. Enggak lama kemudian, ‘Thank’s be 4 y. tp maaf aq kurang berpengalaman, menurutq gpp lg, dg gt tmnmu lbh leluasa dktin tu cewk.’

Wah kayaknya dia pengalaman juga, jangan-jangan Fahreza pernah pacaran. Tanya ah, ‘O gt y, kynya pengalaman pribadi ni. Pernah jd play boy y? Thank’s y, ntar aq bilangin k tmnq.’

‘G kok, itu pengalaman TKq. So udh agk2 lp gt. Pacaran enak y?’

Fahreza mulai ngeles ni,.‘ Kl TK berarti skarang dah numpuk donk pengalamannya? Pacaran g enak kok, enakan kue brownies.’

Dan obrolan kita terus berlanjut sampai larut malam.

* * *


--- bersambung ---

Rabu, 24 Juni 2009

Empat Bayi Kehilangan Ibunya

merawat yang tak mungkin dirawat

Pagi itu terasa biasa, tidak ada yang istimewa. Aku berjalan keluar sekedar menikmati udara pagi, tetapi tiba2 aku mendengar teriakan nyaring. Aku coba mencari teriakan itu tetapi teriakan itu begiru lembut untuk telinga seorang dewasa. Ku lirik sana sini, tetap tak ada rupa. Semakin aku yakin itu bukan teriakan biasa, melainkan tangis. Tangis dari sesuatu yang kecil.

Mencoba tak menghiraukannya, tapi tak ayal juga bayang tangis itu tak bisa lenyap begitu saja. Sampai hitam malam melingkupi bayang wajahku, tangis itu masih terdengar. Karena tak kuasanya hatiku menahan rasa khawatir, aku berbisik pada kakakku. Ku ajak dia keluar dan ku tunjukkan tempat di mana suara tangis minta tolong itu terasa paling nyaring.

Bapakku pun ikut keluar, wajahnya yang mulai layu lelah diantara bintang kecil yang bersinar, beliau memanggul tangga kayu, dan menaikki atap garasi rumahku. Satu bayi dibawanya. Lemah, merah, tak bisa mengangkat kelopak matanya. Begitu ibanya kami melihatnya.

Malam yang dingin itu si bayi sendiri. Tapi pagi harinya aku masih mendengar tangis yang sama. Ku pikir itu hanya bayangan. Ternyata Bapak menemukan tiga bayi lagi. Kakakku lalu datang membawa seember air hangat yang dicampur dengan daun sirih, untuk menghilangkan bau amis sisa-sisa darah yang menempel di tubuh keempat bayi.

Pernahkan kamu mengalaminya?
---- tak bertahan lama, hari kesembilan bayi-bayi itu kembali pada sang pencipta ----

Berikanlah kasih sayang selama Ibu masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi ,..